• English
  • Bahasa Indonesia

Awasi Praktik Balas Jasa dan Balas Dendam Terkait Netralitas PNS di Pilkada

Banjarmasin, Badan Pengawas Pemilu – Kendati telah dilarang lewat peraturan perundangan maupun kembali ditegaskan dengan Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sejumlah laporan mengenai ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetap muncul disejumlah daerah. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) kembali mengingatkan agar PNS tidak memihak dan tidak membantu pasangan calon kepala daerah yang maju untuk menjadi kepala daerah.

Demikian disampaikan Komisioner KASN, Irham Dilmy saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Stakeholders dalam rangka Pendidikan Partisipatif Pengawasan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015, di Banjarmasin, Senin (5/10).

 “Penting kita mengingatkan agar tidak terjadi program balas jasa dan balas dendam yang masih terjadi hingga sekarang, kita coba kawal Pilkada ini. Kita ingatkan kembali teman-teman kita yang ada di tingkatan tertentu di jabatan tinggi pratama, atau eselon III, atau eselon IV agar mereka tetap bersikap netral,” harapnya.

Terkait program balas dendam pilkada Irham Dilmy mencontohkan di suatu daerah, karena suami/istri tidak membantu pemenang yang menjadi kepala daerah, maka suami/istri itu dipindahkan menjadi guru ditempat terpisah dimana jaraknya mencapai 200 kilometer.

“Ini program balas dendam. Ada yang diturunkan pangkatnya, ada yang di non job kan tanpa alasan yang jelas. Ini adalah dampak dari ketidaknetralan ASN,” jelasnya.

Irham mengatakan bahwa asas netralitas adalah setiap pegawai ASN tidak berpihak dari pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Menurutnya yang kerap menjadi persoalan di daerah misalnya yang menjadi kepala daerah masih memiliki hubungan kekerabatan ataupun pertemanan. Kondisi demikian menjadikan sulit bagi PNS untuk netral.

Meski demikian, Irham mengungkapkan terdapat pula contoh kasus dimana seorang PNS yang terjebak dalam situasi seolah-olah mendukung salah satu pasangan calon. “Tanpa menggunakan seragam, misalnya seorang PNS dimintai tolong untuk perkenalkan siapa yang akan menjadi calon kepala daerah ini. Yang bersangkutan diminta maju ke depan. Jadi waktu ditelusuri, dia tidak ada niatan untuk berkampanye tapi oleh karena si calon kepala daerah memintanya maju ke depan, dia seolah-olah berkampanye. Ini sulit jadinya,” paparnya.

Namun apabila kemudian ditengarai PNS itu menjadi anggota partai politik langsung atau tidak langsung, sambung dia, berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN menyatakan PNS diberhentikan dengan tidak hormat.

“Intinya seharusnya kita sadar, seperti di negara-negara maju di Amerika Serikat, dalam  Pemilihan Gubernur Negara Bagian, pegawai negeri sipil disana betul-betul menciptakan diri mereka sebagai perekat bangsa. Seperti di Jepang, siapapun yang menjadi gubernur, mereka tetap bekerja seperti biasa, dan tidak dipengaruhi. Kalaupun mereka mau dipengaruhi, mereka akan menolak, dan tetap bersikap netral,” pungkasnya.

 

Penulis: Christina Kartikawati

Editor: Haryo Sudrajat

Foto: Pratiwi EP

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu