Jakarta, Badan Pengawas Pemilu - Ketua Bawaslu RI, Muhammad, menyatakan dengan mengutip orasi ilmiah beberapa tokoh pakar politik bahwa ada empat syarat Pemilu dinilai demokratis. Pertama, hadirnya regulasi Pemilu yang jelas dan tegas. Hal ini penting agar nantinya regulasi Pemilu tidak melahirkan tafsir regulasi yang berbeda-beda.
Kedua, hadirya Partai Politik yang mampu menyiapkan kader kompeten. Di mana kader Parpol paling tidak mengerti dan memahami bagaimana berkompetisi dalam Pemilu, bagaimana undang-undang Pemilu, UU penyelenggara Pemilu dan UU Partai Politik, “tujuannya jika mereka dihadapkan dengan regulasi Pemilu itu bisa ketemu, sehingga tidak terlalu sulit dan tidak banyak masalah” jelasnya.
Hal itu dikatakan Muhammad saat menjadi narasumber pada kegiatan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Outlook 2015, Refleksi dan Proyeksi di LAN Graha Wicaksana, Penjompongan, Kamis, (18/12).
Ketiga, pemilih yang cerdas. Dalam forum tersebut Muhammad bercerita bahwa fakta yang ditemui Bawaslu di lapangan, masyarakat sekarang tanpa rasa malu berharap mendapatkan uang politik dengan terang-terangan. Ia juga menanyakan bagaimana langkah selanjutnya terkait nasib banyaknya barang bukti pelanggaran Pemilu yang didapat oleh Bawaslu atau Panwaslu.
Keempat, penyelenggara Pemilu yang professional, kredibel dan berintegritas. Menurut pendapatnya, dari empat variable tersebut yang paling menentukan adalah yang terakhir. Yaitu mendorong bagaimana memastikan penyelenggara Pemilu berintegritas dan bisa dipercaya adalah faktor dominan yang sangat menentukan. “bisa dibayangkan kalau penyelenggaara Pemilu itu luntur kepercayaan publiknya, bicara dan berbuat apapun, masyarakat akan mencibirnya” tuturnya. Rupanya dalam evaluasi dan data Bawaslu menunjukkan bahwa empat hal itulah yang menjadi sumber aduan ke Bawaslu selama penyelenggaraan Pemilu, ungkapnya.
Hadir dalam acara, pimpinan Bawaslu RI, anggota DKPP RI, dan beberapa narasumber diantaranya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Pengamat komunikasi dan politik, Dr. Budiono, dan Direktur Eksekutif Indonesian Political Indikator, Burhanuddin Muhtadi.
Penulis: Ahmad Ali Imron