• English
  • Bahasa Indonesia

Bawaslu Siap atas Kewenangan Baru

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu menilai positif penambahan kewenangan oleh Pemerintah dan DPR untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa, termasuk pelanggaran politik uang. Selain mempercepat proses penindakan, hal itu juga mencegah terjadinya pelanggaran.

"Bawaslu siap jika kewenangan itu betul diberikan. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015, jajaran kami juga mulai berperan seperti pengadilan saat menyelesaikan sengketa, baik antarpeserta pemilihan maupun antarpeserta dan KPU selaku penyelenggara pemilihan. Tidak ada masalah," ujar anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, Minggu (24/4).

Sebelumnya, Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 2015 menyepakati untuk menguatkan kewenangan Bawaslu.

Menurut Nelson, dengan kewenangan baru itu, penindakan pelanggaran hukum selama pilkada bisa lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama. Khusus kasus politik uang, misalnya, di pilkada sebelumnya, penindakan hanya bisa dari sisi pidana. Prosesnya selama ini juga cukup panjang.

Sebelum masuk ke pengadilan, laporan pelanggaran yang diterima Bawaslu harus dikaji terlebih dahulu oleh kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan sering kali tak memiliki kesamaan pandangan sehingga berkas perkara kerap bolak-balik di antara ketiga instansi tersebut.

Bawaslu kini juga berwenang mengadili dan menjatuhkan sanksi administrasi pada pelanggaran hukum pilkada. "Dengan kewenangan baru itu, kami bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku politik uang. Proses ini tak perlu menunggu proses pidana selesai sehingga lebih cepat karena hanya ditangani Bawaslu dan tak lagi lintas instansi. Ini bisa mencegah politik uang. Adanya ancaman sanksi yang lebih kuat bisa mencegah politik uang," papar Nelson.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menambahkan, revisi UU No 8/2015 perlu menerapkan sanksi yang lebih mengikat atas praktik politik uang. Penerapan sanksi terhadap peserta tak perlu menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht), cukup lewat rekomendasi Bawaslu.

Selama ini, tambah Titi, Pasal 73 UU tersebut mengatur, calon yang terbukti melakukan pelanggaran politik uang dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum provinsi/kabupaten/kota setelah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Menurut Titi, mekanisme seperti ini juga diperlukan untuk menguatkan peran dan fungsi Bawaslu yang selama ini belum maksimal. "Tentunya rekomendasi dikeluarkan berdasarkan alat bukti yang kuat dan tak dapat dibantah telah terjadi praktik politik uang yang dilakukan calon, partai pendukung, atau tim kampanyenya," kata Titi.

Lebih lanjut, definisi politik uang juga perlu diperluas, tidak sebatas praktik jual-beli suara, tetapi juga terkait mahar dari bakal calon ke parpol pengusung serta suap terhadap penyelenggara pilkada.

Menurut Maskurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, sanksi pembatalan sebagai calon juga dapat berlaku ketika kandidat atau tim kampanye menyampaikan laporan dana kampanye secara tak benar atau manipulatif.

Tercipta keadilan

Terkait syarat pencalonan, Titi mengatakan, baik untuk kandidat kepala daerah dari jalur perseorangan maupun partai politik seharusnya dapat sama-sama diringankan. Dengan demikian, akan tercipta keadilan bagi parpol ataupun warga negara yang ingin maju tanpa sokongan mesin partai.

Syarat bagi parpol ataupun gabungan parpol dapat diturunkan menjadi 5 persen kursi DPRD atau 10 persen suara sah Pemilu DPRD. Adapun syarat bagi calon perseorangan dapat diturunkan jadi 2 persen-5 persen dukungan dari jumlah DPT. "Jangan khawatir akan muncul calon terlalu banyak karena pilkada saat ini cuma satu putaran. Otomatis, koalisi secara alamiah sudah terbentuk sejak awal," kata Titi.

Sebelumnya, Panja RUU Pilkada menawarkan dua opsi terkait syarat pencalonan. Selain syarat dukungan untuk calon perseorangan tetap, yaitu 6,5 persen-10 persen dari daftar pemilih tetap atau dinaikkan, juga syarat parpol atau gabungan parpol tetap 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara minimal Pemilu DPRD atau diturunkan.

(APA/NTA/AGE/OSA)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000023040143.aspx

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu