Makassar, Badan Pengawas Pemilu - Meskipun ikhtiar membuat undang-undang itu dibuat tegas dan jelas, namun kenyataannya ada saja pasal yang dibuat abu abu. Contoh munculnya cost politic dan money politic, dua makna yang berbeda. Semua ini adalah bagian dari regulasi yang tidak jelas dan tidak tegas. Antara cost politics dan money politics perbedaannya tipis sekali sehingga potensi politik uang sangat tinggi.
Modus yang menimbulkan money politic bisa bermacam-macam, karena KPU menetapkan satu putaran. Maka sekali lagi di sini potensi uang sangat tinggi, apalagi KPU membenarkan pemberian souvenir seharga 25 ribu, ini harus diwaspadai dan merupakan celah. Namun saya berharap walaupun ada celah seperti itu tapi tidak digunakan untuk melakukan sesuatu yang di luar ketentuan.
Pemaparan tersebut disampaikan Ketua Bawaslu RI Muhammad dalam acara Studium Generale dengan tema Indeks Kerawanan Pemilu Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 di Kampus Universitas Muhammadyah (Unismuh) Makassar, Sulawesi selatan, Senin (5/10) yang diikuti mahasiswa strata satu dan pasca sarjana Fisip Unismuh dengan moderator oleh Wakil Rektor 1 Dr. H. Abdul Rahman Rahim SE, MM.
Lebih jauh Ketua Bawaslu Muhammad menjelaskan masih banyak pemilih yang tidak cerdas, contohnya masih banyaknya spanduk yang muncul menggambarkan sikap permisifnya rakyat terhadap money politic, antara lain spanduk yang bertuliskan “daerah ini siap menerima serangan fajar”, “wani piro nomer piro”.
Pilkada bagai hukum pasar, ada yang jual dan ada yang beli. Jika menemui kondisi seperti ini kita dan mahasiswa sebagai masyarakat hendaknya jangan melayani, sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan politik yang santun dan bermartabat dengan membuat perbaikan pada mindset, kata Muhammad.
Tugas ini, lanjutnya, tidak semata menjadi tugas Bawaslu RI maupun jajaran Panwas di semua daerah, tetapi juga harus diperkuat oleh partisipasi masyarakat, mahasiswa terlebih para pengkaji ilmu politik di Unismuh yang mendapat amanah negara untuk memperbaiki kualitas pendidikan politik di Negeri ini.
Menurut Muhammad jika peserta Pemilu banyak yang berasal dari perguruan tinggi, dapat diharapkan akan meminimalkan tindakan yang culas di dalam politik ini. Karena itu perguruan tinggi harus mengambil peran ini.
Terhadap Parpol pun Muhammad menyoroti pentingnya peran partai politik yang harus memerhatikan aspek kaderisasi yang kompeten dengan cara menyiapkan kader yang baik, pemilih yang cerdas atau masyarakat yang punya kesadaran dan terbangun dengan baik untuk tidak permisif terhadap hal-hal yang mengganggu jalannya Pilkada yang jujurdan adil.
Mengenai Indeks Kerawanan Pilkada 2015 yang telah dirilis Bawaslu RI, pembobotan jumlah 30 persen terhadap profesionalitas penyelenggara dianggap sebagai angka kerawanan dalam Pilkada karena aspek penyelenggara sebagai wasitnya.
Dari lima aspek yang dinilai secara nasional diperoleh data untuk daerah Sulawesi Selatan berada pada posisi 2,54 % atau cukup rawan dengan kabupaten Bulukumba pada posisi di atas 3 % atau posisi rawan.
Sekali lagi Muhammad menghimbau tugas perguruan tinggi terlebih mahasiswa Fisip untuk menciptakan dan menghasilkan pendidikan politik yang cerdas bagi masyarakat. Sehingga meminimalkan potensi kerawanan ini di daerah masing masing, tutup Muhammad.
Penulis/Foto : Nurmalawati Pulubuhu
Editor : Ali Imron