• English
  • Bahasa Indonesia

Fritz Jabarkan Dilema Pengawasan Hoaks dan Penanganan Politik Uang

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar saat menjadi narasumber dalam Bimbingan Teknis Peliputan dan Penulisan Berita Bagi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau di Pekanbaru, Rabu (6/11/2019) malam/Foto: Ranap THS

Pekanbaru, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Bawasalu Fritz Edward Siregar menjabarkan, adanya dilema dalam pengawasan hoaks di media sosial (medsos) dan penanganan pelanggaran pidana pemilu, khususnya politik uang. Hal ini dia utarakan saat menjawab pertanyaan para wartawan di sela kegiatan Bimbingan Teknis Peliputan dan Penulisan Berita Bagi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau di Pekanbaru, Rabu (6/11/2019) malam.

Menurutnya, hanya Bawaslu lembaga satu-satunya di dunia yang mengawasi kampanye pemilu di medsos. "Di negara lain tidak ada, sehingga mereka di sana langsung melaporkan kepada platform medsos seperti Facebook, Twitter, dan Google," sebutnya.

Namun, Fritz menyatakan, dilema mengawasi medsos itu apakah akan membelenggu kebebasan berekspresi? Sebab dia meyakini, salah satu perwujudan demorasi adalah kebebasan berbicara.

Fritz bercerita, menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019, Menteri Komunikasi dan Informasi kala itu menyatakan kesanggupan bila Bawaslu memberikan instruksi 'balck out' atau mematikan seluruh layanan medsos saat hari peilihan agar hoaks tak berkembang. "Begitu pula saat terjadinya kerusuhan di depan kantor Bawaslu. Tapi, Bawaslu tidak meminta melakukannya, karena ada bagian kebebasan berekspresi dari proses demokrasi," aku dia.

Fritz menyebut, di Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) ada Tim AIS yang dibekali mesin pengais (crawling) sebagai langkah untuk menangkal konten-konten negatif di internet. Tim ini memberikan informasi seputar hoaks di medsos.

"Setelah diseleksi mana yang menyebarkan hoaks maka akun medsos tersebut bakal dikirim dan dilaporkan ke 'platform' medsos untuk di 'take down'. Tetapi, banyak akun yang dianggap tidak menyebarkan hoaks," tunjuknya.

"Sampai kapan kebebasan berbicara tersebut dinyatakan melanggar sehingga akun medos perlu di-'take down'?," tanyanya.

Dia menyimpulkan, informasi dikatakan hoaks bila telah ada pernyataan pejabat negara terkait yang menyatakan bahwa informasi tersebut tidak benar. Setelah itu, baru kemudian meminta "platform" medsos untuk menutup akun penyebar hoaks. "Tetapi tidak bisa semuda itu karena esensi kehadiran platform medsos adalah komunikasi. Beruntung, Bawaslu bersama Kemkominfo berhubungan baik dengan platform medsos seperti Facebook dan Google," ujarnya.

Untuk Facebook, lanjutnya, ada istilah 'coordinates behavior'yang bisa menganalisa akun terduga penyebar hoaks dengan menganalisa akun yang melakukan postingan langsung disebar ribuan akun lainnya. "Tapi begitu akunnya ditutup, keesokan harinya muncul akun baru lainnya. Itu dilema lagi," imbuhnya.

Fritz menyampaikan, hoaks saat ini menjadi ladang bisnis yang akhirnya bisa mencipatakan ketidakpercayaan atas proses pemilu. Sehingga, untuk mengatasinya merupakan tugas bersama dengan seluruh masyarakat. "Budaya mengecek kebenaran informasi perlu digalakkan. Saat ini banyak orang yang sering melakukan 'share' informasi tanpa terlebih dulu mengecek kebenarannya," sebutnya.

Lalu, terkait anggapan Bawaslu bagai kurang serius menindak pelanggaran pidana khususnya politik uang, Fritz mengungkapkan, hal tersebut tidaklah benar. Dosen Ilmu Hukum Tata Negara di STH Indonesia Jentera ini menjelaskan, proses pidana itu terkait keyakinan hakim dengan pembuktian dengan minimal dua alat bukti.

"Bisa alat bukti surat dan pula kesaksian atau pengakuan. Karena itu, perlu proses. Dan politik uang dimulai dari orang terdekat sehingga banyak masyarakat yang tak mau menjadi saksi saat pembuktian," kata dia.

Belum lagi terkait alur hukum dari temuan pelanggaran pidana lalu masuk tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan putusan pengadilan melibatkan banyak pihak yang terkadang punya pemahaman berbeda.

"Saat Pemilu 2019 temuan penanganan pelanggaran pidana ada 2724, namun yang sampai putusan hanya 380 saja," terangnya.

"Bahkan ada satu kasus dugaan pidana kampanye gubernur di sebuah stadion yang berisi sekitar 500 orang. Namun, begitu si gubernur dilaporkan tak ada satu pun yang mau jadi saksi, padahal ada videonya. Tetapi, kurang alat bukti," sambung Fritz.

Masyarakat seringkali takut ketika menjadi saksi. Padahal menurutnya ini merupakan tanggung jawab bersama agar proses demokrasi bisa berjalan jujur dan adil sehingga menghasilkan pemimpin berintegritas.

'Bawaslu sendiri sudah sering sosialisasi masuk ke kanpung-kampung agar masyarakat tak menerima uang saat pemilihan lantaran penerima bisa terancam pidana. Ini merupakan bagian tugas Bawaslu," pungkasnya.

Fotografer: Ranap THS

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu